Pentingnya Ruang Terbuka Hijau dan Hak Atas Tanah untuk Kesehatan Mental

Kesehatan mental semakin menjadi perhatian serius di berbagai belahan dunia. Laporan World Health Organization (WHO) tahun 2022 mencatat bahwa sekitar 1 dari 8 orang di dunia (lebih dari 970 juta jiwa) mengalami gangguan mental. Di Indonesia sendiri, menurut Riskesdas 2018 dari Kementerian Kesehatan, prevalensi gangguan mental emosional pada penduduk berusia di atas 15 tahun mencapai 9,8%, naik signifikan dari 6% pada tahun 2013.

Di balik angka-angka ini, banyak faktor pemicu yang masih jarang diperhatikan secara menyeluruh, salah satunya adalah lingkungan fisik tempat seseorang hidup: ruang terbuka hijau dan kepemilikan lahan.

Ketika Anda tinggal di wilayah urban yang padat, tekanan harian seperti kemacetan, polusi, kebisingan, serta ketidakpastian tempat tinggal berkontribusi langsung terhadap stres kronis. Dalam konteks ini, ruang terbuka hijau (RTH) dan hak atas tanah bukan hanya kebutuhan ekologis atau legal, melainkan bagian dari struktur pendukung kesehatan mental masyarakat.

Ruang Terbuka Hijau: Terapi Alami bagi Psikologis Anda

Ruang terbuka hijau adalah kawasan yang ditumbuhi tumbuhan dan digunakan secara terbuka untuk kepentingan publik. Menurut WHO, minimal 9 meter persegi RTH per orang diperlukan agar kualitas hidup di kota dapat terjaga. Sayangnya, data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) tahun 2022 menunjukkan bahwa RTH di kota-kota besar Indonesia rata-rata hanya mencapai 10–12% dari total luas kota, jauh di bawah standar minimal 20% (Sumber : pastibpn.id).

Pentingnya Ruang Terbuka Hijau dan Hak Atas Tanah untuk Kesehatan Mental
Pentingnya Ruang Terbuka Hijau dan Hak Atas Tanah untuk Kesehatan Mental

Studi yang diterbitkan dalam jurnal The Lancet Planetary Health (2021) menyatakan bahwa paparan terhadap ruang hijau memiliki korelasi kuat dengan penurunan gejala depresi dan kecemasan, terutama pada penduduk kota. Ini karena lingkungan hijau membantu mengurangi kadar kortisol, meningkatkan fokus, serta memperbaiki suasana hati. Bahkan interaksi singkat dengan alam, seperti duduk di taman selama 15 menit, telah terbukti menurunkan tekanan darah dan meningkatkan kebahagiaan secara signifikan (University of Exeter, 2019).

Selain aspek biologis, RTH juga mendukung hubungan sosial. Taman kota dan ruang hijau publik menjadi tempat interaksi antarwarga yang tidak hanya mempererat jejaring sosial, tetapi juga memperkuat rasa memiliki dan identitas komunitas. Anda yang tinggal di kawasan dengan ruang hijau memadai cenderung memiliki tingkat stres lebih rendah dan rasa aman lebih tinggi dibanding mereka yang tinggal di lingkungan yang penuh beton dan minim vegetasi.

Krisis Ruang Terbuka Hijau di Kota Besar

Keterbatasan RTH bukan hanya masalah jumlah, tetapi juga akses. Banyak ruang hijau yang tertutup, tidak terawat, atau hanya dapat diakses oleh kelompok tertentu. Sebuah laporan dari Bappenas tahun 2021 menunjukkan bahwa kota-kota seperti Jakarta, Medan, dan Makassar menghadapi tekanan luar biasa dari urbanisasi, yang mengakibatkan alih fungsi lahan hijau menjadi permukiman padat dan infrastruktur komersial.

Akibatnya, banyak warga kehilangan tempat untuk rekreasi sederhana, olahraga, atau sekadar mencari udara segar. Dalam jangka panjang, ketidaktersediaan lingkungan sehat ini meningkatkan risiko gangguan kesehatan mental, terutama pada kelompok rentan seperti anak-anak dan lansia.

Hak Atas Tanah dan Stabilitas Psikologis

Kepemilikan tanah yang jelas dan legal memberikan stabilitas, kendali, serta rasa aman, semua elemen penting bagi kesehatan mental. Menurut penelitian dalam The Journal of Urban Health (2018), individu yang tinggal di hunian tanpa kepastian hukum atau berada di lahan sengketa menunjukkan tingkat stres kronis yang lebih tinggi, kesulitan tidur, dan penurunan produktivitas kerja.

Di Indonesia, permasalahan kepemilikan tanah sering kali kompleks, mulai dari status warisan yang belum bersertifikat hingga konflik agraria dan penggusuran paksa. Ketika Anda hidup dalam bayang-bayang pengusiran atau tidak memiliki jaminan tempat tinggal, tekanan psikologis akan muncul sebagai rasa cemas terus-menerus, yang dalam banyak kasus berujung pada gangguan kecemasan umum atau depresi.

Program Pendaftaran Tanah Sistematis Lengkap (PTSL) dari pemerintah sejak 2017 telah membantu mempercepat proses sertifikasi lahan masyarakat. Namun, hingga 2022, dari target 126 juta bidang tanah, baru sekitar 75 juta yang telah terdaftar. Ini menunjukkan masih banyak masyarakat yang hidup dalam ketidakpastian legal atas tanah yang mereka tempati.

Integrasi RTH dan Hak Atas Tanah: Sebuah Pendekatan Holistik

Ruang terbuka hijau dan hak atas tanah sebenarnya saling berkaitan erat. Kualitas lingkungan hidup tidak hanya diukur dari banyaknya pohon, tetapi juga dari siapa yang memiliki akses dan hak untuk menikmatinya. Ruang hijau publik akan lebih bermanfaat jika dapat digunakan secara inklusif oleh warga sekitar, dan hal itu membutuhkan kejelasan tata kelola lahan serta perlindungan hukum.

Negara-negara seperti Belanda dan Finlandia telah mengadopsi model tata ruang berbasis kesejahteraan psikososial. Di Helsinki, perencanaan kota mewajibkan adanya ruang hijau dalam radius 300 meter dari setiap permukiman. Jepang melalui konsep shinrin-yoku atau forest bathing bahkan memasukkan kunjungan ke hutan sebagai bagian dari layanan kesehatan nasional untuk pencegahan stres dan burnout.

Indonesia bisa mengadopsi pendekatan serupa dengan memperkuat sinergi antara program urban farming, pengembangan taman kota berbasis komunitas, serta percepatan sertifikasi tanah masyarakat yang tinggal di kawasan urban padat.

Apa yang Bisa Anda Lakukan?

  • Manfaatkan ruang hijau yang ada: Sisihkan waktu rutin untuk berada di taman kota, hutan kota, atau kebun komunitas di sekitar tempat tinggal Anda.
  • Aktif dalam komunitas lokal: Dorong pembentukan taman komunitas, kerja bakti penghijauan, atau konservasi ruang publik.
  • Periksa status hukum lahan: Pastikan kepemilikan tanah atau rumah Anda jelas dan terdokumentasi. Jika belum, manfaatkan program PTSL atau konsultasi dengan notaris/PPAT.
  • Bersuara untuk kebijakan inklusif: Sampaikan aspirasi melalui forum warga atau musrenbang agar pembangunan di lingkungan Anda mempertimbangkan aspek kesehatan mental dan ruang terbuka.

Rekomendasi Kebijakan

Pemerintah daerah dan nasional perlu mengintegrasikan pendekatan kesehatan mental dalam kebijakan pertanahan dan tata ruang. Beberapa langkah yang dapat dilakukan antara lain:

  1. Menetapkan target minimal RTH yang terintegrasi dalam perizinan pembangunan.
  2. Mendorong kepemilikan lahan yang legal melalui penyederhanaan birokrasi pertanahan.
  3. Mengembangkan taman kota inklusif yang bisa diakses semua kalangan.
  4. Melibatkan komunitas dalam perawatan dan pengelolaan ruang publik.

Dengan pendekatan ini, Indonesia tidak hanya membangun kota yang layak huni secara fisik, tetapi juga secara psikologis.

Ruang terbuka hijau dan hak atas tanah bukan sekadar hak ekologis dan legal, tetapi juga kebutuhan fundamental bagi ketenangan batin dan stabilitas psikologis Anda. Di tengah tekanan hidup urban, akses terhadap lingkungan hijau dan kepastian tempat tinggal bisa menjadi perisai alami dari stres, kecemasan, dan depresi.

Mewujudkan kota yang sehat mental memerlukan sinergi antara warga, komunitas, dan pemerintah. Dengan menjaga dan memperjuangkan ruang terbuka hijau serta hak legal atas tanah, Anda tidak hanya berinvestasi pada masa depan lingkungan, tetapi juga pada kesehatan mental yang lebih tangguh dan berkelanjutan.

Tinggalkan komentar