Kesehatan udara perkotaan kini menjadi sorotan penting di tengah meningkatnya polusi dan pertumbuhan kendaraan bermotor. Berdasarkan laporan World Air Quality Report 2023 dari IQAir, Jakarta menempati peringkat ke-17 dunia dalam kategori kota dengan tingkat polusi tertinggi, dengan konsentrasi PM2.5 mencapai 52,2 µg/m³, jauh di atas ambang batas aman WHO sebesar 5 µg/m³. Situasi ini memperlihatkan urgensi tindakan yang lebih kuat dari otoritas lingkungan. Di sinilah peran Dinas Lingkungan Hidup (DLH) menjadi sangat krusial sebagai institusi pemerintah daerah yang memiliki otoritas langsung dalam pengelolaan kualitas udara.
Fungsi Strategis Dinas Lingkungan Hidup
DLH merupakan perpanjangan tangan dari pemerintah daerah yang memiliki tanggung jawab dalam menjaga dan meningkatkan kualitas lingkungan hidup. Dalam konteks udara, tugas DLH mencakup pemantauan kualitas udara, penegakan hukum terhadap pelanggaran emisi, pelaksanaan uji emisi kendaraan, serta pengembangan kebijakan pengendalian pencemaran. Tugas ini dijalankan berdasarkan kerangka hukum nasional, salah satunya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 41 Tahun 1999 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
DLH juga bekerja sama dengan instansi lain seperti Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Dinas Perhubungan, dan sektor swasta dalam mengembangkan strategi bersama untuk pengurangan emisi di wilayah perkotaan.
Pemantauan Kualitas Udara melalui AQMS
Salah satu langkah teknis yang dijalankan oleh DLH adalah pemasangan Air Quality Monitoring System (AQMS). Alat ini mengukur berbagai parameter pencemar udara seperti PM2.5, PM10, NO2, SO2, CO, dan O3. Data yang dihasilkan tidak hanya digunakan untuk kepentingan pengambilan kebijakan, tetapi juga disebarluaskan kepada publik melalui situs resmi pemerintah daerah.

Contohnya, Pemprov DKI Jakarta melalui DLH mempublikasikan indeks kualitas udara (ISPU) harian yang bisa diakses oleh masyarakat umum lewat aplikasi JAKI dan laman resmi mereka. Langkah ini penting dalam membentuk kesadaran publik terhadap kualitas udara dan potensi risiko kesehatannya.
Emisi Kendaraan Bermotor: Sumber Utama Polusi
Data dari KLHK menunjukkan bahwa sekitar 70% polusi udara di kota-kota besar di Indonesia berasal dari kendaraan bermotor. Oleh karena itu, DLH secara aktif mengadakan program uji emisi untuk kendaraan pribadi dan umum. Di Jakarta, misalnya, kendaraan yang tidak lolos uji emisi akan dikenakan disinsentif berupa tarif parkir tinggi atau denda administratif.
Selain itu, DLH juga terlibat dalam sosialisasi penggunaan transportasi rendah emisi seperti sepeda, kendaraan listrik, dan peningkatan kualitas transportasi umum yang terintegrasi, guna menurunkan ketergantungan terhadap kendaraan pribadi berbahan bakar fosil.
Pengawasan Industri dan Penegakan Hukum
Industri juga menjadi penyumbang signifikan pencemaran udara, terutama sektor pembangkit listrik, manufaktur, dan pengolahan limbah. DLH melakukan inspeksi berkala terhadap industri-industri tersebut, memastikan mereka memenuhi ambang batas emisi yang telah ditetapkan.
Jika terjadi pelanggaran, DLH memiliki wewenang untuk mengeluarkan sanksi administratif, peringatan tertulis, hingga penghentian operasional sementara. Mekanisme ini mengacu pada Undang-Undang No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
Ruang Terbuka Hijau: Solusi Pendukung
DLH juga aktif mendorong pengembangan dan pemeliharaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) sebagai salah satu solusi alami pengendalian kualitas udara. Menurut Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 5 Tahun 2008, kota idealnya memiliki minimal 30% dari luas wilayah sebagai RTH. Namun, banyak kota di Indonesia masih belum mencapai angka tersebut.
Program seperti adopsi taman oleh swasta, penanaman pohon di ruang publik, dan pengembangan taman vertikal di area padat penduduk menjadi bagian dari strategi jangka panjang yang dilakukan DLH.
Edukasi dan Kampanye Lingkungan
Kegiatan edukasi publik menjadi salah satu pilar penting dalam strategi DLH. Melalui kampanye seperti Gerakan Langit Biru dan Sekolah Adiwiyata, DLH menanamkan kesadaran lingkungan kepada generasi muda dan masyarakat umum. Kampanye ini mencakup edukasi tentang dampak pembakaran sampah, pentingnya menjaga kebersihan lingkungan, hingga cara membaca indeks kualitas udara.
Dengan menggandeng media lokal, komunitas, dan tokoh masyarakat, DLH memastikan pesan lingkungan dapat menjangkau lebih banyak lapisan masyarakat secara efektif.
Teknologi untuk Pengambilan Keputusan Berbasis Data
Penggunaan teknologi berbasis data kini menjadi kebutuhan mutlak dalam tata kelola lingkungan. DLH mulai memanfaatkan citra satelit, data spasial, dan sensor kualitas udara portabel untuk memetakan wilayah-wilayah dengan tingkat pencemaran tinggi.
Beberapa kota bahkan mulai mengembangkan sistem peringatan dini terhadap peningkatan kadar polusi, yang diintegrasikan dengan sistem tanggap darurat dinas kesehatan. Hal ini memungkinkan deteksi dini terhadap potensi krisis udara dan respons cepat dari pemerintah daerah.
Kolaborasi dan Tantangan Ke Depan
Meski upaya telah dilakukan, tantangan DLH tidak ringan. Keterbatasan anggaran, SDM yang belum merata, dan minimnya kesadaran publik menjadi hambatan nyata. Namun, dengan kolaborasi lintas sektor dan peningkatan kapasitas institusi, peran DLH akan semakin optimal.
Di masa depan, DLH perlu mendorong penguatan regulasi berbasis hasil pemantauan, memperluas partisipasi publik dalam pengawasan kualitas udara, serta mengintegrasikan aspek kesehatan dalam seluruh kebijakan lingkungan.
Kualitas udara yang sehat adalah prasyarat kota yang layak huni. Dinas Lingkungan Hidup memainkan peran kunci dalam menjaga kondisi ini melalui pengawasan, edukasi, dan inovasi kebijakan. Dengan kerja keras dan dukungan semua pihak, harapan untuk udara kota yang lebih bersih dan sehat bukanlah sekadar idealisme, melainkan tujuan yang bisa dicapai.